Tantangan Masa Depan Demokrasi Indonesia di Era Prabowo

Dalam satu tahun terakhir kepemimpinan Presiden Joko Widodo, Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan demokrasi cacat atau flawed democracy. Economist Intelligence Unit (EIU) dalam rilis terakhirnya mengenai skor indeks demokrasi di Indonesia pada tahun 2023 mendapatkan skor 6,53 yang mengalami penurunan dari skor 6,71 pada 2022. Hal ini menempatkan Indonesia pada peringkat 56 dari 167 negara. EIU secara khusus menyorot penurunan demokrasi di Indonesia tidak terlepas dari penyelenggaraan pemilu 2024 yang dianggap tidak memenuhi banyak prasyarat dalam kategorisasi negara yang menyatakan diri sebagai negara demokrasi.
Olle Tornquist menyatakan bahwa masalah mendasar yang menghalangi pertumbuhan demokrasi berakar pada pembuatan kesepakatan dan pembangunan institusi di kalangan elit. Dengan demikian, pandangan dan kepentingan mayoritas populasi dikecualikan dari arena politik formal. Dalam ketiadaan kontrol populer yang efektif atas urusan publik, kekuatan ekonomi dan politik di banyak negara global south berada pada aktor-aktor yang terkait dengan kombinasi bisnis pribadi dan negara.
Demokrasi Indonesia “ala Prabowo Subianto”
Dalam sidang MPR RI pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2024, Prabowo Subianto menekankan bahwa demokrasi Indonesia merupakan demokrasi yang khas ala Indonesia yang sesuai dengan sejarah dan budaya bangsa, demokrasi yang santun, berpihak kepada rakyat, dan menegaskan bahwa bangsa yang merdeka jika rakyatnya diberikan kemerdekaan, yang artinya bebas dari ketakutan, kemiskinan, kelaparan, kebodohan, penindasan, dan penderitaan.
Pernyataan Prabowo menggambarkan bahwa definisi demokrasi di Indonesia akan memiliki pandangan yang berbeda dari definisi demokrasi konvensional yang kerap dibayangkan. Prabowo, yang memiliki latar belakang militer, sering kali membawa gagasan tentang stabilitas, keamanan, dan nasionalisme kuat sebagai pilar utama pemerintahannya. Beberapa ciri utama yang dapat diidentifikasi adalah pendekatan tegas terhadap keamanan, penerapan demokrasi yang lebih “terkontrol”, serta penekanan pada kepentingan nasional.
Nasionalisme yang kuat adalah ciri utama dalam pemerintahan Prabowo kedepan. Ia sering menyuarakan pentingnya kedaulatan nasional dan perlindungan terhadap kepentingan Indonesia dari pengaruh luar, baik dalam konteks ekonomi maupun politik. Kebijakan-kebijakan ekonomi yang berfokus pada kemandirian bangsa dan pengelolaan sumber daya alam secara mandiri adalah bagian dari visi demokrasi Prabowo, di mana negara diharapkan lebih berdaulat dan tidak terlalu tergantung pada asing. Ini tercermin dari wacananya tentang pentingnya menjaga kedaulatan Indonesia di tengah globalisasi yang dinilai dapat mengancam ekonomi dan budaya nasional.
Sebagai sebuah bangsa yang besar, Prabowo meyakini bahwa banyaknya kementerian dan lembaga negara saat ini merupakan hal yang sangat wajar untuk mengurai persoalan masyarakat Indonesia yang kompleks. Bahkan, dalam lembaga legislatif hari ini secara kompak telah sepakat dan menyatakan dukungan kepada pemerintahan Prabowo lima tahun kedepan. Meskipun menjadi kekhawatiran banyak pihak terkait check and balances dalam konsep pembagian kekuasaan sebuah pemerintahan.
Prabowo juga memamndang bahwa keseimbangan antara kebebasan dan keamanan, inklusivitas dan kontrol, serta pembangunan nasional dan kemandirian ekonomi menjadi prioritas utama. Meskipun demikian, model ini mungkin akan menghadapi kritik dari mereka yang mendambakan demokrasi yang lebih liberal, terutama dalam hal kebebasan sipil. Akan tetapi, bagi Prabowo, tantangan terbesar adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara stabilitas dan kemajuan demokratis yang diinginkan oleh rakyat Indonesia.
Tantangan Masa Depan Demokrasi Indonesia
Peneliti demokrasi di berbagai negara secara konsisten memantau dinamika peningkatan dan penurunan tingkat demokrasi di Indonesia. Larry Diamond misalnya, seorang ahli demokrasi mengatakan dalam tulisannya “Indonesia’s Place in Global Democracy” bahwa Indonesia merupakan negara yang cukup liberal dan tidak menghadapi ancaman signifikan dari kelompok-kelompok anti-demokrasi. Pemilihan umum yang rutin diadakan di seluruh wilayah Indonesia secara bebas, adil, dan kompetitif menjamin bahwa masyarakat secara langsung memilih pejabat, mulai dari kepala desa hingga presiden. Indonesia juga memiliki kehidupan sosial yang dinamis dan mayoritas media di dalamnya beroperasi dengan kebebasan.
Namun, peristiwa-peristiwa yang terjadi ketika dan pasca tahun 2014 memunculkan keraguan para peneliti demokrasi dalam menilai karakteristik demokrasi di Indonesia. Terkhusus dalam persoalan politik yang populis atau xenofobhia, pengaturan kebesasan sipil termasuk perlindungan HAM, dan manipulasi pemerintahan dalam mempertahankan kekuasannya.
Eve Waburton dan Edward Aspinall dalam Jurnal “Explaing Indonesia’s Democratic Regression” mengatakan bahwa ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi soal tanda-tanda regresi demokratis di Indonesia, yaitu tantangan populisme dan pergeseran liberal. Tantangan populisme sering disandarkan kepada kepeimpinan milter yang ada dalam pemerintahan, kepemimpinan militer kerap menampilkan gaya yang populis dengan personifikasi yang diinginkan oleh rakyat, seperti Putin di Russia, Viktor Orban di Hongaria, dan Erdogan di Turki. Bahkan di Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto juga dianggap rentan terhadap populisme otoritarian.
Prabowo Subianto kerap dikaitkan dengan hal demikian karena pada kampanye pemilunya pada tahun 2014 dan 2019, ia sering sekali menentang keberadaan asing dan elit/ oligarki di Indonesia yang mengekspolaitasi sumber daya, sedangkan itu sangat berbalik dengan karakteristik kerja sama Indonesia terhadap asing yang terdapat dalam UU, dimana reformasi politik dan konstitusi pasca orde baru telah banyak menguntungkan Indonesia.
Tantangan selanjutnya adalah pergeseran makna liberalisme (kebebasan). Dalam hal ini adalah perkembangan mengenai UU yang tidak liberal yang mengatur kebebasan hak sipil dan kebebasan berkumpul/ berorganisasi di Indonesia. Diantaranya adalah KUHP Indonesia yang masih tidak banyak perubahan sejak zaman Belanda, UU Penodaan Agama tahun 1965, UU Informasi, dan UU ITE tahun 2008 yang secara spesifik mengatur tentang pencemaran nama baik, penghinaan, kebenciaan terhadap golongan, ras, organisasi, dll.
Pada akhirnya, masa depan demokrasi di Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo akan sangat bergantung pada bagaimana pemerintahannya menghadapi tantangan-tantangan ini. Meskipun banyak pihak skeptis terhadap latar belakang Prabowo yang berasal dari militer, jika ia mampu menjalankan pemerintahan yang terbuka, demokratis, dan berbasis pada supremasi hukum, kepemimpinannya bisa menjadi fase penting dalam konsolidasi demokrasi Indonesia. Namun, jika tantangan-tantangan seperti kebebasan sipil, supremasi hukum, politik oligarki, dan dinamika koalisi tidak dikelola dengan baik, maka demokrasi Indonesia bisa mengalami kemunduran yang signifikan.
*Asyraf Al Faruqi Tuhulele merupakan Mahasiswa aktif Magister Departeman Ilmu Politik dan Pemerintah Universitas Gadjah Mada (DPP UGM), Sekretaris Bidang Organisasi Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) DKI Jakarta, Peneliti Leader of Indonesia UMJ dan Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Ciputat Timur. Selain aktif berorganisasi, juga aktif dalam menulis buku dan opini di beberapa media online.
Sumber Foto : BPMI Setpres