Masa Depan Politik Kekuasaan dan Demokrasi dalam Bayang Populisme : Refleksi Pasca-Jokowi

Hari ini, Prabowo Subianto dilantik sebagai Presiden ke 8 Republik Indonesia dengan segala hiruk-pikuk memilih jalur demokrasi dalam meraih kekuasaan. Kemudian banyak pertanyaan muncul tentang bagaimana kekuasaan dijalankan dan masa depan demokrasi dan Indonesia. Kemudian bagaimana kita bisa menjaga sikap kritis dan melindungi demokrasi dalam transisi kepemimpinan ini? Sebuah refleksi atas 10 tahun pemerintahan Jokowi menunjukkan bahwa demokrasi kita mengalami tantangan besar, terutama dalam konteks kekuasaan dan fenomena populisme. Prabowo, sebagai tokoh yang akan dilantik, menghadirkan harapan sekaligus kekhawatiran terhadap arah demokrasi kita. Terlebih populisme masih menjadi salah satu strategi dan modal utama tokoh dalam meraih kekuasaan yang terbukti dalam 10 tahun terakhir menjadi salah satu penyebab utama penyalahgunaan kekuasaan dan rusaknya demokrasi.

Jokowi: Dari Harapan Hingga Kekecewaan

Ketika Joko Widodo pertama kali muncul di panggung politik nasional pada tahun 2014, ia dipandang sebagai sosok yang membawa angin segar bagi demokrasi Indonesia. Latar belakangnya sebagai pengusaha sukses dan wali kota Solo membuat banyak orang percaya bahwa ia adalah pemimpin yang merakyat dan dekat dengan rakyat biasa. Harapan terhadap Jokowi sangat tinggi, dengan keyakinan bahwa ia akan menjadi simbol perubahan dan perbaikan dari elite politik yang korup dan jauh dari kepentingan masyarakat. Selama kampanye pemilihannya, Jokowi berhasil menggugah semangat rakyat dengan janji-janji untuk menghadirkan transparansi, akuntabilitas, dan reformasi dalam pemerintahan. Namun, setelah menjabat selama dua periode, banyak yang mulai melihat perubahan drastis dalam cara Jokowi memerintah. Bukannya memperkuat demokrasi, ia justru dianggap sebagai aktor yang merusak beberapa pilar utama demokrasi itu sendiri.

Pengendalian kekuasaan yang semakin kuat terlihat dalam cara Jokowi mengelola institusi negara. Erosi check and balances yang terjadi telah menciptakan lingkungan di mana oposisi dan kritik terhadap pemerintah semakin sulit untuk dilakukan. Peningkatan oligarki politik juga menjadi sorotan, di mana kekuasaan terpusat pada sekelompok elite yang berpengaruh, sementara suara rakyat yang lebih kecil semakin terpinggirkan. Hal ini berdampak langsung pada kebebasan sipil dan ruang demokrasi partisipatif yang semakin menyusut. Upaya-upaya melanggengkan kekuasaan yang tak terbatas terus di narasikan mulai dari jabatan 3 periode, dinasti politik dan segala macam yang memungkinkan terhambatnya sirkulasi elit. Konsekuensi dari kondisi ini adalah munculnya kontrol yang lebih besar terhadap kebebasan berekspresi, serta pembungkaman terhadap aktivis yang berani menyuarakan ketidakpuasan. Bagi banyak orang, harapan terhadap Jokowi yang awalnya membara kini beralih menjadi kekecewaan yang mendalam. Rasa optimisme yang mengiringi awal pemerintahannya kini tergantikan oleh perasaan skeptis dan kehilangan harapan akan perubahan yang lebih baik.

Populisme Jokowi dan Narasi Kritis yang Tergerus

Salah satu aspek penting dalam perjalanan Jokowi sebagai presiden adalah penggunaan populisme bukan hanya sebagai strategi politik, namun sebagai instrumen menjalankan kekuasaan yang salah. Populisme, meskipun awalnya tampak seperti jalan bagi rakyat untuk terhubung dengan pemimpin mereka, justru telah mengaburkan narasi kritis kita sebagai upaya memperkuat demokrasi. Memang, populisme memungkinkan semakin terbukanya peluang suara rakyat mayoritas untuk diutamakan dalam kebijakan publik, namun mayoritas yang mana untuk didengar sepertinya sedemikian rupa di manipulasi melalui jejaring loyalis. Narasi populisme yang dirawat Pemerintahan Jokowi selama 10 tahun sering kali fokus pada pencitraan pribadi yang kuat dan kecintaan yang berlebih para loyalis menyebabkan pengabaian kritik substantif terhadap kebijakan dan tindakan pemerintah. Populisme sering kali hanya menghasilkan pencitraan dan janji-janji yang kosong tanpa diiringi dengan substansi yang nyata.

Dalam demokrasi yang sehat, kritik yang kuat dan konstruktif adalah salah satu elemen penting. Namun, populisme yang dipelihara dengan cara yang salah cenderung membungkam suara-suara kritis dengan memutarbalikkan narasi, seolah-olah setiap kritik terhadap pemerintah adalah serangan pribadi terhadap pemimpin. Selama masa jabatan Jokowi, kritik dari masyarakat, media, dan oposisi politik sering kali dilabeli sebagai tindakan yang “anti-pemerintah” atau “anti-pembangunan,” yang menyebabkan masyarakat ragu untuk bersuara. Ditambah dengan cara penguasa dalam merespons kritik dengan penyalahgunaan kekuasaan melalui penegakan hukum, penggunaan  alat negara, dan pengambilan kebijakan yang serampangan.

Kita perlu merenung kembali, jangan-jangan kita punya kontribusi terhadap satu kesalahan terbesar yang juga bersama dilakukan selama 10 tahun pemerintahan Jokowi yaitu mencintai pemimpin kita dengan cara yang tidak kritis sebagai dampak dari fenomena populisme. Kecintaan terhadap seorang tokoh sering kali membutakan kita dari melihat kelemahan dan kesalahan yang dibuatnya. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengurangi kecintaan yang berlebihan terhadap tokoh politik. Ini bukan berarti kita tidak boleh mengagumi mereka, tetapi kita harus selalu siap untuk mengkritisi kebijakan dan tindakan mereka demi kepentingan yang lebih besar, yaitu demokrasi itu sendiri. Kecintaan yang berlebih inilah memungkinkan narasi kekuasaan yang tak terbatas disuarakan dengan dalih ini adalah aspirasi rakyat. Kekuasaan dalam sistem demokrasi tidak mengenal itu, mau sebaik apapun pemimpin sirkulasi elite harus tetap berjalan.

Kekuasaan yang Korup Cenderung tidak Ingin Berhenti

Fenomena 10 tahun dalam pemerintahan Jokowi mengingatkan kita pada pernyataan John Dalberg-Acton: “Power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely.” yang berarti kekuasaan cenderung membuat orang menjadi korup, dan ketika seseorang memiliki kekuasaan cenderung tidak ingin berhenti. Salah satunya terbukti dalam 2 tahun terakhir melanggengnya dinasti politik Jokowi “cawe-cawe,” di berbagai posisi pemerintahan dan posisi politik sebagai upaya untuk mempertahankan pengaruh, padahal dahulu selalu mengagungkan anti dinasti politik. Fenomena yang terjadi pada pemerintahan Jokowi belakangan ini menjadi pelajaran penting yang harus kita ingat dalam setiap transisi kepemimpinan. Meskipun seseorang mungkin memiliki niat baik ketika berkuasa, kekuasaan yang tidak diawasi dapat membawa kerusakan besar. Ini adalah peringatan untuk kita semua agar tidak terjebak dalam euforia kepemimpinan baru tanpa membangun mekanisme pengawasan yang ketat. Penguasa, bagaimanapun baik niatnya, dapat tergoda untuk memperkuat kekuasaannya dengan cara-cara yang tidak selalu selaras dengan prinsip-prinsip demokrasi.

Kesalahan inilah yang dilakukan 10 tahun yang lalu, kecintaan yang berlebih terhadap tokoh, pengharapan yang tidak realistis dan narasi populisme yang terus dipelihara baik oleh penguasa maupun para loyalis Jokowi telah menghanyutkan dan melupakan tugas utama sebagai rakyat untuk tetap curiga dan kritis pada setiap langkah penguasa. Celakanya Jokowi juga mulai terpengaruh untuk melanggengkan kekuasaan karena kecintaan buta yang berkembang dalam masyarakat, yang merupakan dampak dari narasi populisme yang terus dipelihara entah disengaja oleh Pribadi Jokowi sendiri atau tidak.

Kebijaksanaan memandang Populisme dengan Mengurangi Kecintaan Terhadap Tokoh

Dalam konteks politik Indonesia saat ini, kita harus tetap waspada terhadap setiap tindakan dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Pengalaman masa lalu, terutama cinta buta terhadap pemimpin sebelumnya, mengajarkan kita betapa pentingnya untuk tidak terjebak dalam euforia populisme yang bisa mengaburkan kritik dan pengawasan terhadap kekuasaan. Populisme sering kali menggunakan retorika yang menarik, berbicara langsung kepada rakyat dengan janji-janji yang menggugah harapan. Namun, kita harus ingat bahwa populisme juga dapat menjadi alat untuk menutupi kekurangan, kesalahan, atau bahkan pelanggaran yang dilakukan oleh pemimpin. Ketika kita terjebak dalam narasi populis, kita berisiko mengabaikan isu-isu substantif yang seharusnya mendapat perhatian kritis. Oleh karena itu, kita harus belajar dari pengalaman pemerintahan sebelumnya di mana kecenderungan untuk tidak mengkritik penguasa membawa dampak negatif terhadap demokrasi kita.

Menghindari populisme bukan berarti kita harus bersikap skeptis tanpa alasan. Sebaliknya, harus mendasarkan kritik pada fakta dan analisis yang mendalam. Fokus kita seharusnya pada kebijakan yang substantif, transparan, dan partisipatif serta harus melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, memberikan ruang bagi suara rakyat untuk didengar dan dipertimbangkan. Menjaga jarak yang sehat dengan pemimpin juga perlu dilakukan agar kita tetap kritis dan objektif dalam menilai kebijakan dan arah negara. Dengan mendorong budaya politik yang mengedepankan akuntabilitas dan transparansi, maka dapat memastikan bahwa kekuasaan tidak disalahgunakan dan bahwa setiap langkah yang diambil oleh pemerintah dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Saya rasa dimulai dengan kembali menghidupkan narasi krisis, mengurangi kecintaan terhadap tokoh dan kebijaksanaan memandang populisme sebagai modal politik bisa menjaga kualitas demokrasi kita dan memastikan bahwa suara kita semua benar-benar didengar dan dihargai.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *