Nasib Lingkungan Hidup Tidak Akan Kemana-Mana, Selalu Jadi Korban.

Penyataan yang sangat mengelus dada kembali dilontarkan oleh Presiden Prabowo yang berencana akan memperluas perkebunan kelapa sawit dan mengatakan bahwa deforestasi tidak berbahaya. Dengan keyakinan yang penuh beliau bilang seperti ini : “Enggak usah takut apa itu katanya membahayakan, deforestation, namanya kelapa sawit ya pohon, ya kan?” Ungkapnya. “Benar enggak, kelapa sawit itu pohon, ada daunnya kan? Dia menyerap karbondioksida. Dari mana kok kita dituduh yang boten-boten saja itu orang-orang itu,” Sambungnya. Pernyataan ini cukup menghentak nurani publik meskipun tidak terlalu berharap banyak dari tokoh yang punya rekam jejak sebagai pengusaha industri ekstraktif. Namun pernyataan yang secepat dan gegabah seperti ini semakin meningkatkan rasa pesimis kita mewujudkan lingkungan hidup yang lebih arif.
Apakah benar deforestasi tidak berbahaya ? Mari kita flashback dalam 20 tahun terakhir. Data Global Forest Watch menunjukkan Indonesia telah kehilangan kurang lebih 10 juta hektar hutan primer, kehilangan 30,8 juta hektare (Mha) tutupan pohon yang setara dengan penurunan 19% tutupan pohon. Dampaknya apa ? kenaikan suhu dan cuaca ekstrem terus melanda. Bahkan sepanjang 2024 suhu rata-rata mencapai 27,74 derajat dengan suhu maksimum harian mencapai rekor 38,4 derajat celsius, yang merupakan suhu terpanas sepanjang 43 tahun. Cukup miris untuk membayangkan sebesar apa dampak iklim yang dirasakan yakin setiap kita sepanjang 2024 ini juga merasakan dampaknya secara langsung. Jika melihat realita ini sangat wajar kalau kita harusnya takut dengan deforestasi.
Belum lagi berbicara tentang dampak sosial ekonomi masyarakat dengan kehadiran korporasi yang berkontribusi besar atas deforestasi Indonesia dalam 2 dekade terakhir. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengungkapkan terdapat 2.710 kasus konflik agraria yang berdampak pada 5,8 juta hektar tanah dan 1,7 juta keluarga. Kemudian ada 1.615 orang ditangkap dan dikriminalisasi karena mempertahankan hak atas tanahnya baik melawan korporasi maupun negara.
Rangkuman fakta diatas mencerminkan narasi tunggal negara dalam memperlakukan lingkungan hidup sebagai sumber ekonomi utama dengan penguasaan negara atas sumber daya masih tidak adaptif, ekspoitatif dan sering kali berujung pada praktik-praktik yang justru merugikan masyarakat adat dan lokal. Kembali lagi, political will negara dalam isu lingkungan masih dimenangkan oleh oligarki.
Pernyataan dan Komitmen yang Saling Kontra
Apa yang disampaikan oleh Presiden Prabowo tentang deforestasi pada akhir Desember itu memang tidak sepenuhnya salah namun bisa dikatakan sangat keliru. Misalnya dalam pernyataan mengatakan bahwa kelapa sawit juga bisa menyerap karbon, ya memang benar tapi tidak sebanding dengan jika ditanami pohon hutan tropis. Perbandingan sangat timpang jika dilihat pohon hutan tropis mampu menyerap 200-400 ton karbon per hektar, sedangkan perkebunan kelapa sawit hanya sekitar 40-80 ton karbon per hektar.
Belum lagi pernyataan bahwa menambah luasan kelapa sawit tidak berbahaya yang bisa dikatakan adalah pernyataan menyesatkan. Buktinya dalam 10 tahun terakhir, data Pantau Gambut mengungkapkan sudah terjadi kebakaran hutan dan lahan seluas lebih dari 5 Juta hektar sebagian besar terjadi di areal konsesi perusahaan kelapa sawit yang terus berulang di lokasi yang sama.
Kedua pernyataan ini seakan meruntuhkan komitmen pemerintah yang sebelumnya bertekad menekan laju gas rumah kaca dan komitmen dalam moratorium izin korporasi kelapa sawit. Dalam COP 28 tahun 2023 Indonesia punya komitmen mencapai nol emisi karbon sebelum tahun 2060 dengan memperbaiki pengelolaan forest and other land use (FOLU). Jauh sebelumnya, pemerintah juga punya komitmen menekan laju ekspansi perkebunan kelapa sawit dengan moratorium izin korporasi kelapa sawit melalui Inpres Nomor 8 Tahun 2018. Padahal kedua komitmen ini disampaikan oleh Presiden Jokowi, yang pada Pilpres 2024 lalu di kampanyekan oleh Presiden Prabowo sebagai penerus program dan bagian dari tim dari Presiden ke-7 tersebut.
Nasib Lingkungan Hidup akan selalu jadi korban.
Ya kalau seperti ini, nampaknya upaya kolektif untuk memperbaiki tata kelola lingkungan hidup yang lebih arif dan berkeadilan akan semakin menemui tantangan besar yang semakin kompleks. Ketimpangan kebijakan lingkungan hidup, sikap pengabaian terhadap hak masyarakat lokal, konflik disertai tindakan kekerasan oleh pihak berkepentingan akan terus terjadi setiap saat. Belum lagi berbicara tentang kerusakan lingkungan yang dihasilkan yang berdampak pada hilangnya sumber kehidupan masyarakat sekitar. Beginilah nasib lingkungan hidup kita memang, mungkin elite akan bertarung dan berdebat panjang jika menyangkut masalah politik praktis, tapi kalau masalah lingkungan hidup semua sama diamnya.
Berharap kepada pemerintah juga percuma saja, setiap rezim memang boleh berganti namun kebijakan lingkungan hidup akan selalu berpihak pada oligarki dan korporasi besar. Kebijakan yang selalu mengorbankan masyarakat lokal yang selama bertahun-tahun hidup berdampingan dengan alam, suatu saat akan tersingkirkan. Pernyataan Presiden Prabowo ini memberikan sinyal dan pertanda seharusnya kita tidak usah berharap banyak nasib lingkungan hidup akan semakin baik, namun semoga saja nasib buruk ini tidak lebih parah dari yang dibayangkan.
*Wahyu Saputra A – Koordinator Polrev, Manager Kampanye & Media Perkumpulan Rawang, Mahasiswa Magister Politik Pemerintahan FISIPOL UGM
Sumber Foto : Greenpeace Indonesia