Refleksi : Penyimpangan Demokrasi Kita Hari Ini

Apakah demokrasi kita hari ini sudah berjalan dengan ideal? Pertanyaan ini sering kali muncul di benak kita, terutama ketika kita merasakan adanya penyimpangan dalam proses demokratisasi. Renske Doorenspleet dan Cas Mudde dalam jurnal mereka yang berjudul “Upping the Odds: Deviant Democracies and Theories of Democratization” memberikan pandangan menarik tentang fenomena ini. Mereka membagi analisis tentang penyimpangan demokrasi ke dalam dua fase utama: fase transisi dan fase konsolidasi.

Dalam fase transisi demokrasi, ada tiga aktor utama yang memegang peranan penting: elit politik, militer, dan masyarakat sipil. Pertama, elit politik menjadi kunci dalam menentukan arah dan cara transisi dari sistem otoritarian menuju demokrasi. Mereka memiliki kekuatan untuk memutuskan kapan dan bagaimana perubahan ini terjadi. Namun, dalam banyak kasus, penyimpangan terjadi karena elit politik berusaha mempertahankan atau memperluas kekuasaan mereka dengan mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi. Dalam analisis saya, penyimpangan ini sering kali disebabkan oleh ambisi pribadi elit yang mengabaikan moralitas demi kepentingan mereka sendiri.

Di sisi lain, militer juga memainkan peran krusial dalam fase ini. Awalnya, mereka sering kali dianggap sebagai lawan dari elit politik yang mendukung demokrasi. Namun, dalam beberapa kasus, elit politik justru berasal dari latar belakang militer, yang membuat kekuatan militer menjadi terpecah. Beberapa elit militer bergabung dengan proses demokratisasi, sementara yang lain tetap setia pada sistem otoritarian. Hal ini menciptakan dinamika yang kompleks dalam transisi menuju demokrasi.

Masyarakat sipil, meskipun tidak sekuat dua aktor sebelumnya, juga memainkan peran penting dalam mendukung transisi ini. Mereka sering kali menjadi penggerak gerakan pro-demokrasi dan menolak sistem otoritarian. Namun, kekuatan mereka tidak selalu signifikan dalam menentukan arah transisi. Selain itu, faktor eksternal seperti hegemoni regional dan krisis ekonomi juga menjadi pendorong penting dalam perubahan dari otoritarianisme ke demokrasi.

Memasuki fase konsolidasi, peran ketiga aktor ini—elit politik, militer, dan masyarakat sipil—justru mulai terkikis oleh struktur negara itu sendiri. Elit politik, yang sebelumnya dominan, kini menghadapi keterbatasan ruang gerak akibat proses institusionalisasi demokrasi. Meskipun beberapa elit militer berperan penting dalam transisi, militer secara umum tetap dipandang sebagai ancaman terhadap proses demokrasi, mengingat karakteristik mereka yang otoritarian. Masyarakat sipil, meskipun potensial untuk memainkan peran besar, sering kali terpinggirkan oleh kekuatan dominan dari elit politik. Pada fase konsolidasi ini, penyimpangan demokrasi kerap kali terjadi karena dominasi elit politik yang semakin besar, sementara peran militer dan masyarakat sipil semakin lemah. Demokrasi yang terwujud sering kali hanya melayani kepentingan kelompok tertentu, tanpa benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat secara luas.

Dalam konteks pemerintahan saat ini, kita menyaksikan maraknya politik dinasti, yang jelas-jelas mengabaikan prinsip meritokrasi dan berpotensi merusak demokrasi. Dinasti politik menciptakan kesenjangan dalam akses terhadap kekuasaan dan mempersempit ruang bagi munculnya kepemimpinan baru yang lebih inklusif. Selain itu, langkah-langkah yang diambil untuk memperkuat kekuasaan sering kali melanggar konstitusi, seperti pengabaian batasan masa jabatan atau perubahan aturan yang menguntungkan pihak berkuasa.

Pelemahan oposisi juga menjadi ciri khas dari pemerintahan saat ini, dengan berbagai cara yang digunakan untuk membungkam kritik, baik melalui tekanan hukum, pengendalian media, maupun co-optation politik. Ketika oposisi dilemahkan, mekanisme check and balance yang merupakan pilar demokrasi menjadi rapuh, sehingga memungkinkan kekuasaan yang tak terkendali.

Populisme, yang sering kali dieksploitasi dalam retorika politik, juga berkontribusi terhadap penyimpangan demokrasi. Meskipun populisme dapat memberikan suara kepada rakyat, ia juga sering disalahgunakan untuk membenarkan kebijakan yang otoritarian dengan alasan “kehendak rakyat.” Dalam prakteknya, populisme yang berlebihan dapat mengikis prinsip-prinsip demokrasi dengan menggantikan proses deliberatif dengan tindakan unilateral dari pemimpin yang mengklaim mewakili rakyat.

Saya berpendapat bahwa fase transisi adalah fase yang paling krusial dalam peralihan dari sistem otoritarian ke demokrasi. Penyimpangan yang terjadi pada fase ini dapat memberikan dampak jangka panjang yang melemahkan demokrasi itu sendiri. Analisis saya sejalan dengan pandangan Eve Warburton dan Edward Aspinall dalam tulisan mereka “Explaining Indonesia’s Democratic Regression”, yang juga menyoroti peran elit politik dalam kemunduran demokrasi di Indonesia. Mereka mengidentifikasi bahwa penyimpangan yang terjadi pada fase transisi dan konsolidasi disebabkan oleh pengaruh sisa-sisa sistem otoritarian dan kurangnya reformasi struktural yang mendalam.

Dalam banyak kasus, terutama yang terjadi di tahun 1990-an, perjuangan untuk melakukan demokratisasi sering kali terganggu oleh berbagai penyimpangan. Ketidaksiapan dan ketidakmampuan elit politik, diabaikannya peran masyarakat sipil, serta pengaruh militer yang tetap kuat, menjadi faktor-faktor yang menyebabkan demokrasi yang terwujud jauh dari ideal. Hegemoni kekuatan besar tertentu, yang mengatur proses demokratisasi, juga menimbulkan pertanyaan apakah demokrasi yang terjadi benar-benar dikehendaki oleh rakyat atau sekadar hasil dari pengaturan tertentu demi kepentingan segelintir pihak. Di bawah pemerintahan saat ini, kita melihat bagaimana berbagai penyimpangan—baik melalui dinasti politik, pelanggaran konstitusi, pelemahan oposisi, maupun populisme—telah berkontribusi terhadap regresi demokrasi. Hal ini menegaskan pentingnya fase transisi yang kuat dan konsolidasi yang kokoh untuk memastikan demokrasi yang sejati dan inklusif dapat bertahan dan berkembang.

Sumber Artikel :
Upping the Odds: Deviant Democracies and Theories of Democratization oleh Renske Doorenspleet & Cas Mudde, Democratization Journal 15:4,815-832

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *